Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh NF (15) terhadap APA (6), hingga saat ini terus menjadi bahan perbincangan publik. Acara Indonesia Lawyers Club (ILC), pada Selasa (2/3/2020) turut membahas kasus tersebut. Ketika Budayawan Sudjiwo Tedjo melakukan pemaparannya soal kasus NF, Presiden ILC Karni Ilyas memotongnya saat Sudjiwo Tedjo menunjuk seorang narasumber wanita sebagai contoh.
Dikutip dari YouTube Indonesia Lawyers Club , Rabu (11/3/2020), awalnya Sudjiwo Tedjo menjelaskan apa saja kemungkinan yang dialami oleh pelaku yang melakukan pembunuhan saat dirinya mengalami delusi. Sudjiwo Tedjo menyebutkan ada kemungkinan pelaku tidak merasakan penyesalan karena percaya apa yang dilakukan olehnya benar, berdasarkan imajinasinya. "Pertama adalah tidak akan menyesal, karena itu delusi," katanya.
"Mungkin yang terjadi gitu juga pada si anak yang sedang kita bicarakan, kenapa dia seolah olah tidak merasa bersalah," lanjutnya. Kemungkinan kedua, Sudjiwo Tedjo mengatakan anak tersebut bisa saja sadar dari delusinya. "Atau yang terjadi, dia merasa menyesal," kata Sudjiwo Tedjo.
Namun hal tersebut menurutnya sulit terjadi, karena manusia percaya terhadap apa yang mereka yakini. "Dan ini secara kebudayaan ditentang karena manusia terdiri dari dua, yaitu diri yang mengalami, dan diri yang bercerita," tuturnya. Sudjiwo Tedjo mencontohkan seorang tentara tidak akan menyesal menjadi cacat dalam perang, karena ia meyakini dirinya melakukan hal tersebut demi negara dan bangsa.
Begitu pula dengan seorang ibu yang harus merasakan sakitnya melahirkan, tidak akan menyesal. Sudjiwo Tedjo lanjut menjelaskan hal yang paling berbahaya adalah apabila seseorang meniru karakter tokoh dari film maupun cerita fiksi, dan mempercayainya sebagai kehidupan nyata. "Yang paling berbahaya dari delusi delusi yang diciptakan oleh film, diciptakan oleh cerita cerita yang lain, itu kalau dia sudah meyakini itu sebagai kehidupannya," paparnya.
"Karena dia sudah menginternalisasi ke dalam dirinya, peran yang dibayangkan." "Jadi sorry (maaf) kalau budayawan itu ngomongnya menyeluruh." "Dari psikolog, psikiater, kriminolog, saya pelajarin semua, walaupun kulit kulitnya saja," kata Sudjiwo Tedjo disambut tawa audiens dan narasumber.
Kembali melanjutkan penjelasannya, kini Sudjiwo Tedjo menunjuk khusus narasumber wanita yang hadri pada acara tersebut. Ia menunjuk kriminolog anak Haniva Hasnan. "Yang berbahaya yang ketiga, Mbak Haniva," kata Sudjiwo Tedjo.
Pria yang mahir berdalang tersebut kemudian tidak langsung membahas soal kasus NF. Ia justru membahas makna nama Haniva. "Kok pake V, enggak pake F, Hanif itu kan jujur, mestinya pake Hanifah, Hanif," tanya Sudjiwo Tedjo.
Mendengar pertanyaan Sudjiwo Tedjo, Haniva membalasnya dengan senyum. Sudjiwo Tedjo lalu lanjut kembali ke persoalan utama. Ia mengatakan bagaimana perilaku Haniva hingga menjadi seperti saat ini, terbentuk karena adanya pengalaman, dan kontribusi lingkungan sekitarnya.
"Nah Haniva adalah satu potong cerita, yang membentuk sampean adalah cerita cerita lain yang membentuk Haniva sekarang," kata Sudjiwo Tedjo. "Saya ceritakan yang ketiga, kenapa," lanjutnya. Belum selesai menjelaskan, Karni Ilyas tiba tiba memotong Sudjiwo Tedjo.
Ia merasa penasaran mengapa Sudjiwo Tedjo secara sepesifik menunjuk Haniva. "Kenapa harus Haniva? Ada Yayang dekat anda," tanya Karni Ilyas. "Yang ini teman saya, semua temen saya, Tika Bisono temen, temen semua," jawab Sudjiwo Tedjo.
Sudjiwo Tedjo mengatakan dirinya mencontohkan Haniva karena, wanita tersebut baru saja tampil di ILC. "Haniva kan orang baru, dan bersinar gitu lho Pak," kata Sudjiwo Tedjo. Haniva kembali tersenyum sembari geleng geleng kepala mendengar pujian dari Sudjiwo Tedjo.
"Mulai," saut narasumber lain. "Enggak," balas Sudjiwo Tedjo. Sudjiwo Tedjo lalu lanjut menjelaskan argumennya.
Ia menyinggung soal pengalamannya berdiskusi dengan Kyai soal makna perintah Iqra di agama Islam (bacalah) yang turun hingga tiga kali. "Menurut para Kyai Iqra pertama bacalah, Iqra kedua pahamilah, Iqra ketiga internalisasikan lah ini di dalam kelakuan mu," kata Sudjiwo Tedjo. Sudjiwo Tedjo kembali menganalogikannya dengan kasus NF, apabila NF sudah meyakini tokoh yang dia percaya adalah realita, maka tidak akan ada rasa bersalah.
Meskipun siswi yang masih duduk di bangku SMP itu telah membunuh tetangganya sendiri dengan sadis. "Orang yang sudah menginternalisasi tokoh tokoh hero (pahlawan) itu di dalam dirinya, enggak merasa bersalah," tegas Sudjiwo Tedjo.